Facebook  Twitter  Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo

Senin, 02 Maret 2015

ASAL USUL SUKU BUDAYA KARO

 Menurut sumber yang kami temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.

Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.

Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah. Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.

KARYA SENI MASYARAKAT KARO

Sebagai masyarakat yang telah menetap, tentu saja, masyarakat Karo juga telah menghasilkan karya-karya sebagai apresiasi jiwa seninya. Hal ini tentu tampak dari hasil karya seninya. Beberapa karya seni yang berkembang dalam masyarakat Karo adalah seni suara, seni gerak, seni tenun, seni bangunan, dan seni sastra.



Seni Suara (Erkata Gendang)

Diketahui bahwa sebelum tahun 1800-an suku Karo belum mengenal seni suara secara mendalam. Namun, setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, muncullah tanda-tanda nyata seni suara tersebut. Sebagai awalnya, masih berupa vokal panjang seperti memanggil seseorang , memanggil binatang peliharaan, menghalau burung, dan lain sebaginya. Dapat dikatakan suara-suara tersebut bersahut-sahutan dan ditemukan nada tertentu. Dari suara yang bersahut-sahutan timbullah seni suara walaupun masih belum memiliki tempo dan nada yang biasa. Dan, ketika satu lagu muncul maka lagu-lagu lainnya juga akan turut mengikut. Kemudian seiring berjalannya waktu timbullah orang yang memiliki keahlian menyanyi dan menggelutinya sebagai profesi yang kerap dipanggil sebagai perende-ende. Lagu ini masih berbau sedih dan digunakan untuk mengantar suatu cerita, doa, dan syukur, serta masih sejenis baik yang dinyanyikan oleh wanita maupun pria.

Seni Gerak/ Tari (Landek/ Perkolong-kolong)

Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek)disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.
Tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas tugas jenis yakni:
o Tari yang berkaitan dengan adat
Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal terebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.
o Tari yang berkaitan dengan religi
Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya.
Semua gerakan tarian religi gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang melakonkannya seperti kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya. Jadi jelas bahwa gerakan itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan tata cara secara umum.
o Tari yang berkaitan dengan hiburan
Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron).
Tari yang bersifatnya hiburan mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-gundala) salah satu tari yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari Gundala-gundala tidak hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur ceria.



RUMAH SIWALUH JABU SEBAGAI SEBUAH KARYA SENI BANGUNAN MASYARAKAT KARO

RUMAH SIWALUH JABU

Begitu banyak karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat karo, rumah ada adalah karya yang terbesar bagi mereka, juga bagi orang lain. Terbukti dari hasil kunjungan para turis dan mereka sungguh-sungguh mengagumi arsitek bangunan rumah adat tersebut. Selain karena tanpa penggunaan paku/ besi, proses pembangunannya pun turut menjadi hal yang cukup spektakuler bagi banyak orang. Ditambah lagi nilai kerja sama atau gotong royong dalam proses pembangunannya mampu menjadi motivasi pada zaman dewasa ini.
Rumah adat bukanlah semata menjadi tempat tinggal atau tempat perteduh. Rumah merupakan tempat bergaul dengan semua orang. Memang pada dasarnya kebanyakan orang Karo adalah orang-orang yang suka bicara, entah itu membicarai orang istilah dalam bahasa Karo disebut dengan Cikurak. Sehingga rumah Siwaluh Jabu menjadi salah satu sarana untuk dapat membicarai orang lain atau hal-hal lain sampai pagi.


Memang rumah tersebut dihuni oleh banyak keluarga, yang notabene memiliki perbedaan sosial maupun dalam adat istiadat. Walaupun begitu di dalam rumah Siwaluh Jabu ini, persamaan senasip sepenanggungan. Segala sesuatu masalah yang mungkin terjadi akan sesegera mungkin diselesaikan oleh pihak yang berhak, misalnya kepala rumah tersebut.
Dari proses pembangunannya sendiri, nilai kerja sama atau gotong-royong sangat ditonjolkan. Sehingga setiap jabu yang berdiri kokoh bukan hanya hasil karya satu orang saja tetapi merupakan suatu hasil karya bersama. Mulai dari persiapan, pengerjaan, hingga penyelesaiannya dikerjakan bersama-sama. Ini pula menunjukkan bahwa rumah bagi suku Karo sangat dijunjung tinggi, bagi setiap orang. 



MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOL MAUPUN ORNAMEN RUMAH ADAT SI WALUH JABU

Simbol yang pertama adalah kepala kerbau. Kepala kerbau, melambangkan kesuburan dan kemakmuran manusia. Kerbau merupakan lambang kekayaan bagi pemiliknya. Kerbau juga berfungsi sebagai pengolah tanah ladang/sawah mereka. Secara umum kepala kerbau berarti sebagai gambaran adanya kehidupan bagi seluruh penghuni rumah. Peletakan kepala kerbau di atas rumah juga mempunyai makna. Peletakan di atas merupakan lambang kehidupan yang harus dekat dengan sang pencipta. Pencipta sangat berperan dalam kelangsungan hidup manusia.
Di bawah tanduk kerbau yang merunduk seperti posisi agak menyerang tergantung periuk. Periuk itu berisi air jernih yang disebut lau maturge, diisi dengan daun atau bulung-bulung simalem. Daun dan air berguna untuk menjaga agar kekuatan mistik kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan seisinya.



Pengretret bentuk cecak yang ditempatkan di dinding rumah berfungsi menangkal magis, setan, dan roh jahat. Sesuatu kekuatan magis dapat dihembuskan dan masuk menyerang penghuni rumah. selain itu, pengretret sejenis hewan yang menyerupai kadal/cecak juga dikatakan sebagai sahabat manusia. Jika ada manusia yang tersesat di hutan, mereka akan mencari beraspati hewan berkepala dua dan berkaki banyak, yang diyakini dapat menunjukkan jalan kembali ke kampung.
Gerga tapak raja Sulaiman banyak digunakan pada alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga lainnya. Gerga tapak raja Sulaiman diyakini memiliki makna mistis sebagai penolak racun dan penyembuh gatal-gatal, penunjuk arah dan penolak bala. Motif gerga lainnya yang pada umumnya ada di peralatan dapur adalah Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Desa si waluh (kosmos), Taiger Tudung (geometris), Bunga gundur dan Pantil manggis (tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris) yang lebih kurang memiliki makna mistis yang sama.
Gerga yang terletak paling bawah ada pada palang dapur (takal dapur). Pada ujungnya (pertemuan sudut palang) memiliki motif seperti kuping atau telinga manusia. Kuping (cuping) melambangkan pendengaran penghuni rumah tentang suara-suara jahat dari luar rumah.

Tidak ada komentar: